Judulnya tuh santuy banget ya?, seolah sedang mengumumkan hal yang wajar terjadi “Aku baru aja ngerusak laptop ayahku”. Akhir-akhir ini aku suka menonton film dokumenter, alasannya karena berdasarkan kisah nyata, lalu aku bisa belajar dari kehidupan orang lain yang nyata adanya.
Kali ini film dokumenter “I Just Killed My Dad” menjadi pilihanku, seri dokumenter 3 episode ini tayang di Netflix. Berkisah seorang anak berusia 17 tahun bernama Anthony Templet menelepon 911 untuk melaporkan bahwa dia telah menembak ayahnya, Burt! Hallo! I just killed my dad
Wah anak kurang ajar, kok tega banget! Kok bisa anak ngebunuh bapaknya? Begitu isi kepalaku dan para polisi yang menangkapnyapun berpikir ini adalah kasus pembunuhan yang kejam? Mengapa film ini harus dibuat? Tanya pewawancara kepada sosok Anthony. Dia menjawab ”karena aku ingin orang tahu kisahku, aku ingin mereka tahu aku bukan anak gila”.
Saat mendengar jawabannya aku langsung berpikir ”wah berarti dia nggak salah nih”, dokumenter ini memang menguak kebenaran tentang kasus ini dengan menampilkan wawancara terhadap kepolisian, jaksa dan beberapa ahli yang ada di sekitar Anthony.
Dokumenter kali ini merupakan karya Skye Borgman, dan “I Just Killed My Dad.” merupakan trilogi karya-karya kontroversialnya untuk Netflix, dua diantaranya adalah “Abducted in Plain Sight” yang menceritakan kisah nyaris tidak masuk akal tentang penculikan remaja Idaho, Jan Broberg, oleh teman dekat orangtuanya, Robert Berchtold, tidak hanya sekali, tetapi dua kali. Kemudian, ia juga merilis “Girl in the Picture,” yang mengangkat kasus Sharon Marshall, atau yang sebenarnya bernama Suzanne Sevakis, yang dibesarkan sebagai putri oleh Franklin Floyd setelah diculik dan disalahgunakan secara seksual, hanya untuk kemudian dijadikan istri Floyd hingga meninggal dalam kecelakaan misterius.
Meskipun telah berlalu bertahun-tahun sejak Netflix pertama kali sukses dengan “Making a Murderer,” formula kisah kejahatan nyata ini masih sangat memikat. “I Just Killed My Dad” dimulai dengan reenaksi dan deskripsi saat Anthony Templet, yang saat itu berusia 17 tahun, dari keluarga yang mapan dan berada (“Di mataku, Burt memperlakukannya seperti raja,” kata teman dekat Burt), mengambil dua senjata dan menembak ayahnya, Burt. Dia kemudian menelepon 911 dengan tenang untuk melaporkan perbuatannya dan menunggu di luar rumah untuk polisi.
Pada akhirnya, semua emosi primitif dalam diri penonton memuncak dalam dorongan keinginan akan balas dendam. Namun, seperti yang sering terjadi dalam dokumenter kriminal nyata, kejadian ini tidaklah sesederhana yang terlihat. Melalui serangkaian pengungkapan, terungkap bahwa Burt adalah seorang suami yang kejam, dia suka memukul istri keduanya Susan which is Ibu tiri Anthony.
Jaksa yang menemui Anthony pertama kalinya merasakan Anthony tak punya empati, dia sangat datar. Jaksa curiga ada sesuatu yang terjadi, dalam penyelidikan atasan Anthony di tempat kerja memberikan kesaksian bahwa Anthony itu berbeda dari anak kebanyakan. Saat pertama kali bertemu Anthony diajak tos dan dia bertanya ”apa itu?”.Wow bagaimana mungkin ada seorang remaja yang tak paham melakukan tos?
Peneliti DNA juga dilibatkan karena ingin mengetahui apa yang terjadi pada Anthony, dalam pencarian ditemukan seorang anak perempuan yang mirip Anthony dan kemungkinan itu adalah kakaknya. Saat dihubungi terkuak lah bahwa Anthony adalah anak hilang yang sudah dicari belasan tahun. Ternyata Burt sang Ayah memperoleh hak asuh Anthony secara ilegal setelah bertahun-tahun menyiksa ibu Anthony dan menguras sumber daya fisik, emosional, dan finansialnya hingga ia tak lagi mampu melacak anaknya yang diculik itu.
Anthony mendapatkan seorang pengacara yang ingin membela Anthony secara gratis, pengacara itu yakin apa yang dilakukan Anthony adalah sebuah perlawanan, dan persidangan yang melibatkan juri menjadi tak mudah karena apapun itu tak ada yang membenarkan pembunuhan.
Sebagai seorang Ibu aku menonton dengan iba, film ini meyakinkanku bahwa kasih sayang yang diberikan oleh orang tua kepada anak merupakan isi jiwa seorang anak. Anthony begitu kosong, bahkan dia tak tahu bagaimana sedih, bahagia, kesal. Emosi itu hilang karena Ayahnya mengisolasi dia dari kehidupan sosial. Anthony belajar abjad saat berusia 10 tahun lewat Ibu tirinya Susan. Kesaksian Susan dan adik tirinya membantu Anthony bisa terlepas dari hukuman.
Bahkan aku sampai mendoakan Anthony semoga dia bisa bahagia, semoga dia bisa mengisi hidupnya dengan hal baik. Anthony bertemu dengan Ibu kandungnya namun hubungan Ibu dan Anak sudah susah terjalin karena kehidupan Anthony memang tak mudah. Ibu nya berharap mereka bisa menjadi teman. Pohon yang ditanam Anthony tak pernah ditebang Ibunya, belasan tahun poster kehilangan Anthony dibawa kemana-mana, belasan tahun membuat kue ulang tahun untuk Anthony dan ketika mendapati anaknya kembali sebuah kebahagiaan hadir meski rasanya sudah tak sama.
Film dokumenter ini semakin meyakinkan ku bahwa menjadi orang tua itu memang tak mudah, anak-anak tak hanya butuh kehadiran kita secara fisik melainkan emosional juga. Semoga kasus pengabaian terhadap anak-anak semakin berkurang di muka bumi ini, aamiin